Adriel Ahmad tertumbuk pandangan di sudut ruang sambil memeluk lutut. Suasana yang begitu mencekam, memahat liang sayu pada dirinya. Antara benci dan menyangkak hati pada segelintir manusia yang ia pirsa. Sepertinya dia tak suka dengan dirinya. Bulir sedunya saja berselancar di kedua netra bak bola pingpong tersebut secara tiba-tiba.
"Kamu kenapa, Adriel?" tanya seorang teman yang bersinggah santai di sisinya.
Senyap, membungkam. Tak ada suara yang merangkak dari kedua bibir mungilnya. Rasanya seperti diselimuti oleh lakban hitam yang mesra. Padahal, Adriel sempat berkidung di kamarnya. Teman yang saat ini duduk bersandingan dengannya, terus menengadah pada Adriel. Ada yang tidak beres dengannya.
"Adriel!!! Kamu kenapa? Katakan!" Sekali lagi ucapnya agak keras.
"Aku ga papa, Ndre." Sekelumit tak perlu dijelaskan gamblang, katanya di dalam hati.
Teman akrab disapa Andreas itu terpencil pikirannya, tak paham mengartikan. Semakin dekat Andreas melangkah sekali menyamping. Penasaran tumbuh dari perasaan yang membatin. Entah apa yang dilakukan Andreas, seperti mencari sebuah perhatian.
"Bilang saja, Adriel. Jangan diam. Aku pasti akan membantu, selagi aku bisa."
Matanya seperti memekik minta tolong, tak tampak bagi siapapun yang memandangnya. Hanya Adriel yang merasakan lara dan luka itu memar di hatinya. Dia seperti tak ada harapan untuk melangkah pada kehidupan. Ingin rasanya menghampiri perjumpaannya dengan Tuhan segera.
Masalahnya, bapak dan ibuknya seperti tak acuh padanya. Mereka berdua tak punya rasa belas asih pada buah hatinya. Setega itu mengirim Adriel seorang diri ke pesantren tanpa alasan, seperti tak logika. Padahal Adriel bukanlah anak yang menyimpang layaknya rubah yang membangkang.
"Oh jadi begitu permasalahannya? Haduh gitu saja kok dipikirin panjang-lebar. Masih banyak permasalahan yang lebih getir daripada kamu, Adriel. Aku aja yang lebih berat diam saja tanpa mengeluh," ledek Andreas mempermainkan hati.
"Katanya mau membantu, kok malah meledek? Bukannya mengatasi permasalahanku, malah membumbuhiku dengan sekarung cabe hingga terasa pedas aku melahapnya. Sakit rasanya, ingin mati saja." Adriel mengakhiri curahannya. Dia mengabai pada teman bangkainya, si manusia padma raksasa itu.
***
Hari itu Adriel dipanggil oleh ustaz. Entah apa peran yang dilakukan sehingga ustaznya mengundang dengan penuh kejutan. Mungkin karena dia memiliki perangai mulia dan berdaya guna untuk manusia. Memang benar apa yang diprasangka oleh ahli agama berpakar edukasi di pesantrennya bahwa Adriel adalah sosok yang mampu berkendali pada adimarga inferior dan bertempuh pada bulevar efisien.
"Mohon maaf ustaz, ada yang bisa saya bantu?" Agak lirih Adriel bersuara menjaga adab.
"Kamu tahu apa tujuan ustaz memanggilmu?" tanya ustaz menerjunkan kedua alisnya, agak beramarah.
"Mohon maaf ustaz, saya tidak tahu."
Suara keras timbul dari tangan ringan ustaz menampar pipi Adriel tanpa permisi. Entah apa yang mengubah tabiat seorang ustaz yang harusnya lembut bagai seulas sutera, malah menjadi duri-duri tajam menyakiti. Adriel juga tercengang dengan kelakuan ustaznya.
"Apa alasan ustaz menampar saya?" Adriel memberanikan diri karena dia merasa tak bersalah.
Ustaz mengerucutkan dahinya, berkacak pinggang. Semakin membengis, tak terima. Dia menyangkal ucapan Adriel, "Justru apa yang sebenarnya kamu lakukan? Malah mengapa kamu bertanya balik kepada saya? Seharusnya kamu sudah tahu bahwa kamu memang salah."
"Saya tidak takut jika memang saya tidak bersalah. Kebenaran harus dimerdekakan, bukannya putus asa dan harus mengalah." Bantahan Adriel membuat ustaznya semakin menjadi-jadi.
"Dasar ulat pesantren!" pekik ustaz.
Seketika itu sejulur rotan melibas punggung dan kaki Adriel dengan lantas. Masih menjadi pertanyaan yang mengelilingi pikiran Adriel. Meskipun dirinya terdiam, tetap saja air bening tak dapat terbendungkan. Ingin saja segera tumbang dan membanjiri kedua pipi yang hampir mendayung.
"Salah saya apa ustaz?" Adriel berusaha menghindar dari serangan ustaz yang terus melukainya. Dia masih tak tahu apa maksud ustaznya.
"Dasar perusak citra pesantren! Kamu sudah menjatuhkan martabat pesantren. Kamu ceritakan ke halayak ramai bahwa pesantren ini tak pantas untuk dihuni penuntut ilmu. Kamu bilang pesantren ini adalah tempat asrama yang menampung banyak maksiat. Kyai dan ustaznya kau sebut tukang cabul? Dasar otak sialan! Pengkhianat!"
"Astaghfirullahalaziim, ustaz." Adriel menghela napas, terjerat.
***
Suara gemurung mesin mobil meruak dari kedua telinga Adriel. Dia diberi waktu untuk menghadap pada pimpinan pesantren esok hari. Hari menebarkan malam gulita. Tak ada ramai kendaraan lalu lalang. Hanya satu mobil yang membuat Adriel bangkit dari diri yang berduka.
Tampak mobil tersebut milik bapak Adriel. Senang dan bangga ternyata masih ada yang peduli padanya. Ketika dirinya mulai melangkahkan kedua kakinya beranjak pergi dari kamarnya, Adriel dihadang oleh lima orang yang sudah menunggu kehadirannya. Dia tak tahu apa yang sedang diinginkan mereka.
"Andreas?" Adriel memanggil teman yang pernah dekat dengannya.
"Iya, kenapa? Kamu heran kan pastinya dengan diriku saat ini, berdiri di tengah orang-orang yang memusuhimu. Benar, aku adalah orangnya. Orang yang tak sudi melihatmu hidup mencari muka," singkatnya tanpa banyak kata.
Adriel tertegun. Sebengis itukah si padma raksasa itu? Lebih dari belati kejam yang memiliki sisi tajam. Kedua mata Adriel membelalak, tak menyangka. Dia ingin berlari kabur namun keempat musuhnya sudah menangkapnya.
Dideranya sedikit demi sedikit dengan kayu jati menggamparnya hingga hampir tak kuasa. Sulutan penghalus pakaian yang dihidupkan dengan listrik, didekatkan pada wajah Adriel. Diseretnya tanpa rasa kasihan. Mulutnya yang terus berteriak dibungkam dengan belah kain, membisu.
Hamparan besi panas itu terdampar di atas wajah Adriel hingga meninggalkan memar merah darah. Dia menahan laranya sambil berperang dengan kesakitan. Air matanya tak kunjung reda. Dirinya hampir sekarat. Tetap saja mereka memukulinya tiada henti.
"Eh eh dia lepas!" Andreas menyeru pada segerombolan teman-temannya untuk segera menyambut Adriel yang lolos kabur.
Adriel menahan pedihnya sambil menderu kesakitan. Tampilannya sudah tak seperti manusia pada umumnya. Bercompang-camping, bersipuh darah melumasi pakaian bersihnya. Dia tetap berlari dan mencoba bersembunyi di suatu tempat.
Sambil menahan napas yang mendengus, kelima musuhnya itu mencari Adriel dengan jeli. Kedua matanya berpetualang ke sana ke mari, tapi tidak ditemukan. Akhirnya mereka berpencar ke beberapa jalan yang bercabang. Namun Adriel sudah punya bayangan untuk melewati jalan yang tidak ditemukan oleh para musuhnya.
Adriel lanjut berlari setelah dirasa keadaan aman. Dia merasa seperti telah bebas dari para musuhnya. Entah mengapa tiba-tiba dia merasa bahagia. Adriel mulai berputar-keliling layaknya berdansa di sebuah istana. Di malam temaram, Adriel berbungah-bungah sendirian tanpa ada orang di sekitarnya.
Layaknya dirinya sedang berdansa dengan seseorang. Tak tampak pada dirinya dengan siapakah dia berbicara. Lantunan yang terbebas dari lisannya memuji Tuhan Yang Maha Kuasa. Seakan-akan dirinya merasa sedang disaksikan oleh banyak manusia.
Brakkk!!!
Sebuah mobil melintas dengan kencang menabrak tubuh Adriel yang mulai tak berdaya. Darah berganda meluas hingga membasahi jalanan. Disusul dengan air hujan melecap pakaian hingga tubuhnya. Kedua orang berlarian keluar dari mobilnya.
"Anakku!!!!!"
Ibunya melanjutkan sambil memecah kedua matanya yang membanjir air bening penuh kesedihan,"Ya Allahh, Nak yang kuat. Ayo kita pulang. Kamu sudah selamat. Semuanya sudah diatasi sama Bapak. Kamu akan pulang, Nak!"
"Tenang, Buk. Setelah ini, engkau tak akan pernah merasa keberatan lagi. Aku sudah merdeka. Aku akan pergi ke surga dan segera bertemu dengan Sang Maha Pencipta. Aku ingin segera melanjutkan dansaku di pergelaran surga bersama Dia yang selalu mendengarkanku tatkala berdoa. Dia yang paling setia denganku. Dia sangat rindu dengan kehadiranku."
- TAMAT -
0 Komentar