Ruang Ego Dalam Sabda Ikhwan

 

Tatkala itu hati terenyuh ketika diwajahkan dengan seorang pahlawan yang memerdekakan aku sebagai budak dari penjara. Datang secara mendadak tanpa mengabarkan dari toa maupun radio nasional. Aku sebagai orang yang terbuai, terjungkal di atas tanah, terkulai bagai daun kering yang tak memiliki arti saat itu. Ditolongnya tanpa rasa gengsi.

Aku berkisah dengan luapan seribu cerita, seakan terpuruk, tak ada yang ingin kusampaikan. Ingin dikuburkan. Air bening mengalir, seakan tak terima dengan keadaan yang pahit. Mata yang begitu nanar ingin berbalas dendam pada kebencian.

"Yang sabar ya, pasti ada jalannya. Aku akan berusaha untuk menjadi pahlawanmu yang selalu ada di garda terdepan!" ucapnya, menenangkan hatiku yang mulai tercerca.

Dia masih muda, lebih muda dari umurku. Namun, tak menjadi halangan bagi dirinya untuk menjadi pahlawan yang melindungiku dari ancaman musuh. Musuh nyata yang menyongsong luka dan duka mengakibatkan serangan air mata. Aku ingin hancur rasanya. Ingin meninggalkan dunia tanpa banyak kata. Sudah terlalu hina untuk hidup di dalamnya.

"Apa kamu tidak ragu dan malu jika dekat dan duduk bersamaku?" balasku, termegap-megap.

"Untuk apa ragu? Untuk apa malu jika itu timbul dari hatiku?" Kedua matanya memberikan tanda bijak dan dewasa.

Baru saja aku menemukan orang sejati itu. Tak ada yang ragu pada dirinya untuk mendekat padaku. Kisah malang maupun petang yang merubung kehidupanku, tak dihiraukan. Dia benar-benar yakin pada diriku jika aku akan menjadi sasaran terbaik untuknya. Amal jariyah baginya.

***

Beberapa waktu sebelumnya...

Aku dicura seribu manusia. Dari kiri, kanan, atas, bawah, melambung seperti ingin menghabisiku. Angin dan awan mendung seperti asik menyaksikanku diburu oleh manusia jahat itu. Aku bergelimpangan luka hati yang berserakan di atas tanah.

Darah pengkhianatan mengucuriku tanpa sebab. Aku dikubur dengan tempelak dan kutukan yang terus menikamku. Tak ada yang peduli padaku. Semua tertawa bahagia sambil berdansa dengan riang melirik padaku.

"Anak lemah! Tak punya harga seorang pria! Jadilah saja seperti para hawa di jalanan yang melacur di malam hari!" Ada yang menghujamku semacam itu.

Ingin rasanya mengakhiri dan meninggalkan dunia ini. Sungguh keji dan jahat para manusia yang tak bertabiat bagai hewan buronan. Bahkan mirisnya, yang pernah lekat denganku seperti dua jari manis dan kelingking yang saling mengikat, mereka menuduhku di atas manusia bertopeng hewan buronan itu. Lebih dari parah.

"Akan ku balas suatu hari nanti!"

***

Beberapa waktu setelah kedatangan pahlawan...

"Jangan karena dirimu dijaga oleh kesatria bodong itu, kamu merasa aman! Kamu kira kami akan menyerah?"

Aku disekap oleh beberapa orang jahat. Mereka sangat benci denganku karena aku punya yang mereka tidak punya. Aku dicerca seribu petaka. Belati beraksa kejam itu ingin menghabisiku. Ingin menusuk lapisan lambungku yang tak pernah bersalah padanya. Mereka mengancamku jika aku tidak menjauh dan pergi dari mereka.

"Sebegitunya kalian benci dan mendarah tinggi padaku? Hanya karena aku punya dan kalian tidak?" Aku mengungkap pada mereka.

Plakkk!!!

Namun aku digeplak. Aku semakin lemas tak berdaya. Ingin rasanya terbebas dari musuh-musuh bejat dunia itu. Ingin melaung tapi tiba-tiba dibungkam. Aku hampir tak bisa bernapas. Kedua mataku membelalak. Aku ingin melawan, tapi tak punya jurus.

Brakkkkkk!!!!

Suara bantingan pintu itu menggema satu ruangan. Mereka terheran dengan siapa yang berani mendobrak pintu rumahnya itu. Namun tak terlihat. Sekilat itu dia berlari hingga menghipnotis penglihatan para pengkhianat tersebut.

"Jangan macam-macam pada ikhwanku!"

Kesatria itu menumpas habis para lawan yang sok jagoan itu. Pedang menyayat hingga menjadi daging yang berkeping-keping. Diolesinya saus merah segar melumati potongan daging tersebut. Akhirnya luka itu terbalaskan. Aku dibebaskan.

***

"Hampir mati aku seperti kau tak peduli lagi padaku!" Aku mulai geram padanya karena tak kunjung datang menolongku.

"Bukannya begitu, aku sudah ada di belakangmu tadi." Jawabnya membuat aku terkejut.

"Hah! Kau bilang dirimu sudah ada di belakangku? Aku hampir mati kau bilang semacam itu?" Aku kembali bertanya padanya.

"Iya! Aku juga hampir mati di waktu yang sama! Aku hampir tertusuk oleh musuh-musuh yang tidak waras. Tapi di tengah diriku yang sekarat, aku berusaha datang dan ingin menolongmu. Tapi kau menganggapku semacam itu." Dia bersuara agak lantang meyakiniku.

Aku menangis sejadi-jadinya. Ternyata dia sangat peduli padaku. Hanya tentang ego yang ingin memecah-belah hubungan ikhwanku dengannya. Aku sudah terlalu ego. Aku mementingkan diri sendiri. Ternyata dia lebih pahlawan dari segala pahlawan. Aku melutut padanya.

"Tidak usah semacam ini. Aku memaafkanmu. Aku tetap akan menjagamu."

Hati yang tulus itu mendapati dan memelukku dengan setia. Air mata tak kunjung melara menerjun secara tiba-tiba. Aku meminta maaf atas segala ego yang berprasangka buruk padanya. Namun dirinya tetap tersenyum dan ingin bertekad baik padaku. Dialah orang yang selalu ada di dalam hatiku.


Posting Komentar

0 Komentar