Bungkam Nasib Guru Honorer, Tertindas di Negeri Sendiri

 


Guru merupakan seorang pembimbing, pendidik, penebar ilmu dan pengalaman, serta yang memperbaiki budi pekerti anak didiknya agar menjadi generasi hebat dan bermartabat. Banyak tenaga, pikiran, bahkan waktunya terkuras habis di sekolah. Mendahulukan kehidupan anak orang daripada anak sendiri. Namun nyatanya, nasib mereka jauh dari ekspektasi yang dihalusinasikan para masyarakat di luaran sana.


Lulusan sarjana pendidikan tak menjamin guru sejahtera. Masih banyak para guru yang terdampar dalam kemiskinan. Padahal merekalah yang menjadikan orang-orang sukses dan bahagia di dunia ini, bahkan hingga sampai di akhirat. Namun mengapa masih banyak para guru yang tersiksa di negeri sendiri? Seharusnya para guru harus jauh lebih sejahtera daripada orang-orang yang saat ini sukses karena adanya hasil campur tangan mereka. 


Para pejabat dengan tingkah ego dan tawanya, menampilkan gigi sumringah, seakan-akan tak peduli dengan apa yang telah terjadi saat ini. Mengapa mereka yang sedang duduk di parlemen tak memandang perjuangan para guru yang melaungkan perjuangan jiwa raga serta waktunya demi menjadikan para generasi bangsa hebat dan bermartabat? Mengapa mereka hanya mematung dan diam membungkam? Buta mata juga buta hati.


Tak semestinya para guru di negeri ini merasakan luka dari siksaan para atasan hanya menjadi babu yang diupah di luar nalar. Tak seharusnya para guru merasakan kepedihan perjuangan karena tak memiliki lembaran transaksi untuk kehidupan setiap harinya. Seharusnya para guru harus merasakan bahagianya bertahta di dalam istana, merasakan kehidupan yang layak. Namun, janji para atasan adalah omong kosong dan tak ada buktinya sama sekali.


Kurikulum yang jika dipantau setiap berapa tahun selalu berubah, seakan tak memiliki pakem yang kuat. Guru telah mempersiapkan diri dan belajar dengan giat, tak kunjung lelah hanya untuk sebuah kurikulum pembelajaran yang disiapkan oleh pemerintah sebelumnya, mendadak diganti. Hal tersebut membuat guru harus bekerja dua kali bahkan berkali-kali untuk menghabiskan waktunya di sekolah. Jangankan di sekolah, di rumah saja terkadang masih mengerjakan tugas yang bertumpuk dari sekolah.


Selain itu, guru juga didudukan seperti pelayan dan siswa adalah rajanya. Para guru dituntut untuk melayani para siswa dengan berbagai tenaga dan kekreativitasan agar siswa bisa paham dengan materi yang dipelajarinya, namun nyatanya problematika yang didapatkan malah muncul dari siswa itu sendiri. Para siswa yang memiliki problematika di luar sekolah, terkadang yang menjadi hambatan utama dalam proses pembelajaran. Ketidak fokusan dalam belajar, sulitnya dalam menerima maupun memahami materi, hingga tidak konsisten dalam berpikir. Hal itu menambah pekerjaan para guru untuk lebih memahami dan memperhatikan mereka. Sudah digaji tak seberapa masih saja disalahkan. Sampai dituntut berlebihan.


Bisa-bisa di negeri ini tidak akan ada lagi orang-orang yang minat untuk menjadi guru dan terjun pada dunia pendidikan, kecuali hanya orang-orang yang ikhlas. Apalagi tak ada penghargaan yang tinggi untuk mereka yang berjuang penuh di garda terdepan. Mirisnya lagi, mereka diiming-imingi dengan pekerjaan yang tak digaji dan harus ikhlas, "Nanti pasti akan dapat balasan ganjaran yang berlipat ganda jika mengajar tak mengharapkan imbalan," kata orang atasan yang tak punya hati itu.


Memang benar jika mengajar haruslah dengan ikhlas dan penuh kesabaran. Tapi bukan semacam itu untuk mengiming-imingi mereka dengan menjual ganjaran. Padahal  yang tahu, ganjaran hanyalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Dimana nurani mereka? Bukankah mereka tahu sendiri perjuangan para guru dengan jerih payah, berjalan kaki dari rumah hingga berkilo-kilo meter untuk mengajarkan ilmu kepada para siswa, namun tidak dihargai sama sekali. Masih saja diberi embel-embel dan pemahaman buruk semacam itu.


Zaman sekarang tidak dapat disamaratakan dengan dahulu. Pemahaman semacam itu bisa saja diterapkan pada zaman dahulu, namun tidak pada zaman sekarang. Setidaknya para atasan yang mengelola manajemen pendidikan di sekolah maupun lembaga pendidikan bisa memberikan sedikit upah yang layak untuk para guru yang berjuang, diberikan penghargaan sedikitnya barang yang bermanfaat untuk mereka. Namun ada saja mereka yang membisukan mulut serta menulikan kedua telinganya, tak peduli dengan mereka yang sebenarnya adalah barisan dari orang-orang yang mulia dan harus diberikan penghargaan yang setinggi-tingginya.


Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata dalam syairnya: 


لَقَدْ حَقَّ اَنْ يُّهْدَى اِلَيهِ كَرَامَـةً ۞ لِتَعْلِيْمِ حَرْفِ وَاحِدٍ اَلْفُ دِرْهَمٍ 

"Sesungguhnya benar sekali memberikan hadiah kepada guru untuk setiap satu huruf yang di ajarkannya seribu dirham."


Al-Wadhi bin Atho' meriwayatkan bahwa pada zaman Khalifah Umar bin Khattab pernah memberikan gaji kepada 3 guru yang mengajar anak-anak Madinah sebanyak 15 dirham. Gaji 15 dirham tersebut jika dikonversikan dalam bentuk uang rupiah adalah sebesar Rp. 3.700.000. Gaji tersebut sangat menjamin kesejahteraan para guru pada zaman itu. Hal tersebut merupakan bukti bahwa guru seharusnya dimuliakan dan disejahterakan kehidupannya.


Maka tidak heran jika pendidikan saat itu sangat baik dan berkualitas karena kesejahteraan guru dan kehidupannya terjamin dan sangat terjaga. Pendidikan yang baik haruslah didukung dengan guru yang berkualitas. Karena, ilmu sangatlah mahal. Jika dapat memuliakan ilmu yang terpancar dalam hati dan pikiran seorang guru, maka ilmu yang diajarkan pasti akan dapat merasuk ke dalam hati dan pikiran murid.


Harapan ke depannya, semoga problematika para guru di Indonesia dapat teratasi dengan baik dan diberikan upah yang setara dengan perjuangannya untuk menjadikan para generasi bangsa menjadi hebat dan bermartabat. 

Posting Komentar

0 Komentar